Maybe We are The Same

Lentera

oleh: Fatya Restu Pandini (X MIPA 1)

Setelah saya menerima pengumuman bahwa saya diterima di SMA Negeri 10 Purworejo, saya menyiapkan peralatan sekolah. Walaupun saya melaksanakan sekolah secara daring, semua harus dipersiapkan dengan baik. Saya tidak tahu kapan akan sekolah secara offline.

MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) hari pertama, saya melaksanakannya di sekolah, hanya dua kelas yang melaksanakan MPLS di hari itu, dua hari MPLS berikutnya, kami melaksanakan MPLS di rumah. Setelah MPLS berakhir, kami berkenalan dengan guru mata pelajaran kami di grup WA masing-masing mata pelajaran.

Pelajaran sudah di mulai, daring tentunya. Aplikasi google classroom, kami install untuk mengetahui adanya tugas dan pengumpulan tugas. Dalam hati sudah saya tanamkan untuk lebih giat belajar, dan itu terwujud di semester satu yang penuh lika-liku.

Sebenarnya, tidak ada halangan untuk tidak mengerjakan tugas, karena pemerintah sudah memberikan bantuan kuota untuk memperlancar sekolah kami. Akan tetapi, rasa malas kadang lebih dominan dibanding keinginan untuk mengerjakan tugas. Satu alasan lagi jika ditanya “Kenapa tidak mengerjakan tugas?” atau “Kenapa tidak mengumpulkan tugas sesuai dengan waktu yang ditentukan?”

 “Sinyal di rumah jelek.” atau akan kami jawab “Maaf Pak/Bu, kuota saya habis.” Hingga tiba waktu PTS (Penilaian Tengah Semester) 1, waktu itu kebetulan ,kuota saya habis dan uang saya belum cukup untuk membeli kuota. Akhirnya, saya melaksanakan PTS dengan bantuan wifi. Selama PTS 1 saya selalu mengerjakan dengan bantuan wifi.

Saya memiliki seorang teman, dia cantik dan rajin. Dia satu SMA dengan saya dan pastinya kami juga bersekolah secara  daring, bedanya ia kelas XI dan saya kelas X. Adiknya juga bersekolah secara daring di SD di dekat rumah mereka.

Ah ya, saya ingat ketika dia akan mengerjakan soal yang memang khusus untuk kelas XI. Sore itu kami main bertiga, lalu dia berkata, “Besok saya ke rumahmu ya, pinjam HP mu untuk mengerjakan soal, besok kalau saya dikirimi uang, saya ganti kuotamu.” Kebetulan dia tinggal bersama neneknya dan satu adiknya. Saat itu kami saling tatap, kata-katanya memang bukan untukku, tapi untuk teman saya.

Esok harinya, dia benar-benar ke rumah teman saya, karena kebetulan teman saya mempunyai kuota. Seterusnya, hal itu terjadi hingga ia meminjam HP tantenya guna mengetahui tugas sekolah. Aplikasi google classroom yang biasa digunakan anak lain tidak dia install, dia hanya menggunakan WA untuk mengetahui tugas dia dan adiknya.

Bila dia ditanya “Hei San, sudah mengerjakan tugas?” dia akan menjawab dengan tawa sumbang “Tidak, aku tidak pernah mengerjakan tugas.” Dia mengerjakan tugas hanya tugas yang dikumpulkan langsung di sekolah tanpa aplikasi. Selain itu, dia tidak mengerjakan tugas.

Setelah melewati beberapa hari dengan pelajaran modal HP tantenya, ia mengabarkan berita baik, ia berkata dengan girang, “Kemarin bapak tiri saya berkata bahwa beliau mau membelikan HP untuk saya dan adik saya, aaaa senangnya. Doakan ya semoga cepat sampai di rumah.” saya turut senang dengan hal itu, dia akan belajar dengan baik bersama adiknya.

Hari-hari terlewati dengan baik, terkadang saya bertanya padanya tentang pelajaran yang saya tidak paham. Dia dengan semangat mengajari sampai saya paham. Kami sering berbagi HP untuk absen. Selain itu, juga untuk menanyakan tugas pada teman sekelasnya. Rumahnya agak jauh dari rumahku. Dia harus menaiki bukit dengan jalanan berbatu dengan tanah merah yang sewaktu-waktu bisa longsor.

Semester 1 segera berakhir, namun HP yang bapak tirinya janjikan tak kunjung datang, ia pernah bertanya padaku, “PAS besok saya pake HP siapa ya, HP tante kuotanya habis, ibu juga belum transfer uang bulan ini.” Saya memperhatikan raut wajahnya. Ia berharap terlalu tinggi, hingga realitanya tak sesuai dengan ekspektasi yang tinggi.

Ibu dan bapak tirinya tinggal di luar kota, mau tidak mau ia harus bisa hidup mandiri. PAS (Penilaian Akhir Semester) 1 sudah di depan mata, lagi-lagi kuota saya habis, tersisa kuota belajar yang hanya bisa digunakan untuk aplikasi tertentu. Saya bertanya pada diri saya sendiri, “Kenapa selalu habis ketika akan melaksanakan PAS atau PTS?” Tapi saya tidak menemukan jawaban dalam diri saya.

“Saya melaksanakan PAS dibantu ibu, ibu memberiku soalnya, lalu beliau yang mengisikan jawaban untuk saya. Saya bersyukur, setidaknya saya masih bisa mengikuti tes walaupun dengan pengerjaan jarak jauh,” katanya setelah berhari-hari berdiam di rumah.

“Kenapa tidak mengerjakan di sekolah? Kan sekolah sudah menyediakan fasilitas jika ada yang mengerjakan di sekolah?” tanya saya heran.

“Nanti kalau saya mengerjakan di sekolah, adik saya di rumah dengan siapa? Nenek saya pergi mencari uang. Dan satu lagi, saya malas mencuci baju tebal dengan kata lain malas memakai seragam ke sekolah.”

Penyunting: Tim Redaktur

Next Post

Kegiatan di Tengah Pandemi

     Kalau berbicara mengenai pandemi, pasti tidak luput dengan kata tetap di rumah, mencuci tangan, menjaga jarak, memakai masker, menghindari kerumunan, membatasai mobilitas. Kira-kira begitulah yang aku lakukan selama hampir satu tahun lebih. Masuk sekolah baru dan mempunyai teman baru, tetapi tidak melakukan interaksi secara langsung. Memang, kedengarannya menyedihkan, tetapi […]