Meningkatkan Karakter dengan Meneladani Pitutur Luhur yang Terkandung dalam Paribasan Jawa

Lentera

            Pandemi Covid-19 sudah satu tahun melanda Indonesia. Berbagai aktivitas pun dibatasi termasuk kegiatan pembelajaran di SMA Negeri 10 PURWOREJO ini. Pembelajaran jarak jauh pun masih berlangsung. Guru dan siswa hanya bertemu secara virtual. Oleh karena itu, sulit untuk memantau karakter peserta didik.

Demi menumbuhkan karakter peserta didik, maka peserta didik sebaiknya mengetahui pitutur luhur yang terkandung dalam paribasan Jawa. Di antara paribasan-paribasan tersebut adalah:

  1. Aja rumangsa bisa, nanging kudu bisa rumangsa

       Jangan merasa bisa, tapi harus bisa merasakan

Mungkin di antara pembaca pernah mendengar kutipan kata mutiara Jawa di atas. Kutipan yang cukup menohok bagi orang yang menganggap dirinya pintar dan serba bisa. Pesan yang ingin disampaikan dari kutipan di atas adalah : Seseorang yang baik tidak boleh merasa serba bisa, tetapi harus menyadari bahwa dirinya sendiri memiliki kekurangan dan orang lain pun juga memiliki kelebihan yang tidak dimilikinya. Seseorang yang ahli dalam bidang tertentu, belum tentu ahli dalam bidang lainnya. Sama halnya dengan ilmu pengetahuan yang ada, Iptek akan terus berkembang.

2. Aja Adigang, adigung, adiguna

        Jangan menyombongkan kekuatan, kebesaran, dan kepandaian

Banyak orang yang membanggakan dirinya secara berlebihan hingga menimbulkan sifat yang sombong. Aja Adigang, adigung, adiguna memberikan nasehat kepada kita agar kita tidak sombong dengan apapun yang kita miliki. Baik itu menyombongkan kekuatan, kebesaran maupun kepandaian kita. Orang yang memiliki sifat adigang, adigung, adiguna cenderung menghalalkan segala cara serta apapun yang dimilikinya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Namun, pada akhirnya justru akan berakibat kehancuran pada dirinya sendiri.

3. Kebo sapi dikeluhi, uwong dikandhani.

Kata bijak Jawa di atas memiliki arti, jika kerbau atau sapi dalam melakukan sesuatu perlu dicambuk, berbeda dengan orang atau pribadi manusia yang hanya diajak berbicara saja untuk bertindak. 

Selain itu, ungkapan di atas juga menjelaskan tentang perumpamaan orang yang tidak mau berpikir dan mencari jalan keluar disamanakan dengan “kebo” seekor binatang bodoh. Bukan karena orang itu tidak mampu menyelesaikan masalah, melainkan karena orang itu malas mencari solusi dan jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah.

4. Kenes ora ethes

Orang terlihat pintar karena suka pamer

Pernah menjumpai orang-orang yang demikian??  Memang pada umumnya banyak yang seperti itu. Banyak pamer namun sebenarnya tidak bisa apa-apa. Mungkin karena orang itu memiliki tujuan seperti ingin dipuji, ingin mendapat perhatian dari atasan, ataupun ingin disegani orang lain. Di sisi lain, orang yang benar-benar berilmu akan cenderung diam serta baru bicara apabila hal itu memang benar sangat diperlukan. 

5. Laku ing sasmita, amrih lantip

Seorang yang ingin berilmu harus mengasah lahir dan batinnya.

Ilmu tanpa iman akan buta. Ilmu yang bermanfaat harus dikuasai secara lahir batin agar bisa diamalkan dalam kehidupan sehari hari, berguna bagi diri sendiri dan orang lain yang memerlukannya.

6. Lembah manah lan andhap asor

Rendah hati dan sopan santun

Jika kebanyakan orang akan menjadi tinggi hati setelah dirinya berilmu, maka leluhur Jawa mengajarkan kita untuk selalu rendah hati. Selain itu, seseorang yang semakin berilmu hendaknya tidak boleh merendahkan atau meremehkan orang lain.  

7. Tanggap ing sasmita

Mampu menangkap pembicaraan

Dalam bahasa Indonesia, sasmita diterjemahkan menjadi kata simbolis. Jadi bila keseluruhan kata tanggap ing sasmita diartikan, maka mempunyai arti seseorang yang mampu menangkap informasi secara simbolis. 

8. Tut Wuri Handayani

Mengikuti dari belakang

Kata bijak atau kata mutiara bahasa Jawa ini mungkin seringkali kita dengar terutama saat kita masih berada di bangku sekolah. Dipopulerkan oleh Ki Hajar Dewantara sebagai bapak pendidikan. Mengikuti dari belakang adalah tugas seorang pendidik dalam hal ini adalah guru. Setelah menyampaikan ilmu kepada siswa, sejatinya guru tidak lantas melepaskan anak didiknya begitu saja, melainkan harus senantiasa mengawal dan mengikutinya, agar bila terdapat kesalahan guru bisa segera meluruskan masalah tersebut.

9. Dipikir wening sakdurunge tumindak

Dipikir baik-baik sebelum berbuat

Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang senantiasa menekankan kehati-hatian sebelum kita melakukan sesuatu. Sebelum kita berbuat sesuatu atau bertindak, sebaiknya dipikirkan betul-betul baik buruknya, apakah hal tersebut melanggar norma atau tidak, serta apakah tindakan yang akan kita lakukan  bisa merugikan orang. Seseorang yang memiliki kepribadian matang, harus memikirkan betul setiap tindakannya. Bila orang tersebut sudah memutuskannya, maka dia harus bisa menanggung resiko yang akan dialaminya.

10. Jembar kawruhe

Luas ilmu pengetahuannya

Ungkapan ini menggambarkan seorang yang kaya akan ilmu dan wawasannya. Dia tidak hanya belajar dari lingkungan sekolah atau pendidikan formal saja melainkan belajar dari lingkungan di sekitarnya. Kondisi inilah kondisi yang ideal untuk dibangun dan dikembangkan dalam lingkungan keluarga. Dimana pendidikan adalah utama serta bisa menjadikan anggotanya tumbuh menjadi pribadi-pribadi unggul.

11. Mumpung anom ngudiya laku utama

Mumpung masih muda carilah ilmu utama.

Umur tidak akan bisa terulang kembali. Oleh karena itu, mumpung masih muda, masih memiliki raga dan pikiran yang prima carilah ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya. Mereka yang sukses adalah mereka yang tidak menyia-nyiakan masa mudanya dan mengisinya dengan pengalaman dan ilmu.

12. Ngelmu pari tansaya isi tansaya tumungkul

Ilmu padi semakin berisi semakin merunduk

Sejatinya orang yang memiliki pendidikan tinggi serta memiliki banyak ilmu, akan sedikit berbicara, semakin beretika dan bisa menempatkan posisi di manapun dia berada. Dia tidak akan banyak menunjukkan kemampuan atau kepandaiannya namun akan berbicara dan bertindak apabila benar-benar diperlukan.

13. Ngunduh wohing pakarti

Menerima hasil kerja kerasnya

Kata bijak Jawa di atas berlaku tidak hanya dalam budaya Jawa saja melainkan berlaku secara universal. Bahkan dalam ajaran beberapa agama ditemukan nilai-nilai yang sama. Siapa yang menanam dia akan menuai. Siapa yang menanam kebaikan, dia akan menerima kebaikan. Siapa yang menanam keburukan, dia akan mendapatkan ganjaran yang setimpal atas perbuatannya.

14. Nuladha laku utama

Meneladani tingkah laku utama

Kata bijak Jawa di atas memiliki arti bahwasanya dalam meneladani tingkah laku haruslah pada perbuatan-perbuatan yang baik dan mulia. Jangan hanya ikut-ikutan saja melainkan kita harus selektif dan bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. 

Itulah beberapa paribasan yang perlu dipahami dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar kita warga Smandasa bisa menjadi manusia yang baik serta berkarakter mulia.

Penulis            : Novita Fitrianti ( X MIPA 3 )

Penyunting      : Tim Redaktur

Next Post

SMA NEGERI 10 PURWOREJO MELAKSANAKAN BAKSOS KEPADA WARGA DESA BRENGKOL YANG TERDAMPAK BANJIR

Pituruh- SMAN 10 Purworejo melaksanakan kegiatan bakti sosialdi Desa Brengkol, Kecamatan Pituruh. Demi mewujudkan kepedulian kepada sesama, SMA Negeri 10 Purworejo, menerjunkan sebanyak 17 orang dari OSIS dan MPK untuk turut kerja bakti membantu warga yang sedang mengalami musibah banjir. Ketujuh belas orang tersebut, membantu warga untuk membersihkan ruang kelas […]