Oleh: Yuni Raraswati, S.Pd.
Tanggal 21 April 2021 diperingati sebagai Hari Kartini, Hari yang menjadi tonggak bahwa kaum wanita Indonesia tetap memiliki kekuatan peran dan tanggung jawab yang mulia sebagai pencetak sekaligus pendidik generasi unggul pencerah peradaban. Dari wanitalah generasi-generasi yang diharapkan bisa menjadi pemimpin yang tidak hanya berguna bagi keluarga, namun juga berguna bagi bangsa, negara dan yang lebih penting bagi agamanya. Hal ini seperti tertuang dalam QS. AN Nahl:97 “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan perkataan yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Kartini sebagai perempuan yang hidup pada masanya melakukan perjuangan untuk meningkatkan kualitas dan kedudukannya di dalam kehidupan. Di antaranya adalah berjuang agar wanita terlepas dari lingkungan adat yang membelenggunya saat itu. Salah satu hal yang dilakukannya adalah kemauannya untuk diperkenankan belajar di sekolah seperti layaknya kaum laki-laki. Dari semangat belajarnya inilah, Kartini bisa memiliki jaringan yang kuat dengan para pelajar saat itu yang tidak hanya kaum pribumi, namun ada juga kaum muda barat. Dari jaringan pertemanan saat itu lahirlah motivasi untuk terus belajar dengan banyak membaca berbagai macam buku berbahasa Belanda, Jerman, Prancis juga surat kabar yang hadir pada zamannya.
Mau tidak mau dari hasil kegiatan membaca yang dilakukannya dalam masa pingitan bagi kaum perempuan pada zamannya, lahirlah pemikiran-pemikiran mulia untuk mendudukkan jati dirinya sesuai dengan fitrah suci perempuan dihadirkan ke dunia ini oleh Allah. Tidak heran bila Kartini berani menulis untuk menuangkan berbagai pemikiran cerdasnya tentang kemiskinan rakyat, pendidikan, pengajaran dan kebudayaan dan seribu satu soal yang dihadapi masyarakat di sekitarnya melalui surat-surat yang dikirimkan pada sahabat penanya. Kartini mampu menganalisis, melancarkan kritik dan sekaligus memberikan jalan keluar bagi persoalan yang sedang dihadapinya. Misalnya pemikiran Kartini tentang pendidikan. Pendidikan menurut Kartini adalah mencerdaskan watak sebagaimana dalam suratnya yang disampaikan kepada istri Van Kol pada bulan Agustus tahun 1901 bahwa: “sangatlah ingin hatiku, mendapat kesempatan memimpin hati Anak-anak, membentuk watak, mencerdaskan otak …”(Habis Gelap Terbitlah Terang, halaman 32).
Di samping itu, pendidikan yang dikehendaki Kartini adalah suatu proses yang tidak hanya bertujuan untuk mencerdaskan akal saja, melainkan juga sebagai upaya untuk membentuk budi pekerti karena manusia yang berakal dan berilmu belum tentu mempunyai Budi pekerti. Sebagaimana yang tercantum dalam suratnya kepada istri Abendanon pada tanggal 21 Januari 1901 sebagai berikut: “Pendidikan ialah mendidik budi dan jiwa, kewajiban seorang pendidik belumlah selesai jika ia hanya baru mencerdaskan pikiran saja; bahwa tahu adat dan bahasa serta cerdas pikiran belumlah lagi jaminan orang hidup susila ada mempunyai budi pekerti …” (Habis Gelap Terbitlah, halaman 78).
Dari sinilah, saya sebagai seorang pendidik merasa bersyukur memiliki kesempatan yang lebih luas untuk melanjutkan cita-cita Kartini, berkiprah untuk terus semangat belajar, membaca berbagai buku yang mencerahkan, terus belajar menulis, berusaha menjadi pegiat literasi utamanya bagi diri sendiri, dan melanjutkan keinginan Kartini yang belum sempat dilakukannya yakni menjadi seorang pendidik bagi anak-anak didik dan belum sempat pula mendirikan sekolah bagi kaum pribumi pada zamannya karena Allah sudah memanggilnya pada saat melahirkan putra pertamanya pada tanggal 13 September 1904 yang diberi nama Susalit.
Kartini yang saya kenal bukan hanya sebagai pahlawan emansipasi, namun juga sosok pahlawan literasi. Gemar menulis dan mahir berbahasa, berupaya mengamalkan ajaran agamanya dengan segala kemampuannya. Karena Kartini yakin bahwa dengan segala usaha yang dilakukannya, berproses dan berjuang bagi kehidupannya, ada Allah yang senantiasa memberikan kemudahan setelah melalui kesulitan. Pandangan hidup Kartini inilah diungkapkannya kepada JH Abendanon, salah seorang sahabat pena Kartini yang saat itu menjabat sebagai menteri (direktur) kebudayaan, agama, dan kerajinan Hindia Belanda. JH Abendanon telah mengumpulkan surat-surat Kartini dan membukukannya dalam judul Door Duisternis Tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang. Diterjemahkan dalam bahasa Melayu oleh seorang pelopor Pujangga Baru, Armijn Pane, diterbitkan oileh Balai Pustaka.
Sudah selayaknyalah kita yang kini hidup dalam abad yang makin mudah untuk berliterasi dan mengamalkan setiap ilmu yang kita miliki berupaya untuk tetap terus mendarmabaktikan diri kita menjadi madrasah terbaik bagi anak-anak kita. Mengabadikan pengalaman kehidupan istimewa karunia Allah, dalam catatan hasil literasi kita.
Terima kasih untuk Bu Nikmah Nurbaity dan Bu Setyo Mulyaningsih yang senantiasa memfasilitasi dan memotivasi juga menginspirasi. Menjadi Wanita Inspiratif pada zamannya.
Semangat berliterasi, semangat untuk belajar menjadi wanita yang tangguh nan mulia.