“Benci benci benciiiii!!!” Seru seorang gadis sambil mencoret-coret lembar halaman LKS. Tangan kanannya kemudian melemparkan pensil tak tentu arah dengan muka bersungut kesal.
“Sabar Na, kalau kamu kesal seperti itu, tugasnya tidak akan selesai-selesai.” Ujar Mei menenangkan temannya yang sedang kesal itu. “Nih, minum dulu. Maaf ya adanya cuma air putih.”
“Huftt, bagaimana tidak kesal Mei, aku itu paling-paling tidak suka dengan apa yang namanya mapel ini. Dari dulu sampai sekarang. Mau nangis rasanya aku, Mei,” dengan wajah frustasinya Nina menerima uluran gelas berisi air putih dari tangan Mei. Kemudian Nina meminumnya dengan perlahan, merasakan air yang masuk ke kerongkongannya secara perlahan.
Setelah selesai minum, Nina kembali fokus menatap buku LKS-nya kembali. Rasanya ia sudah benar-benar mual melihat jajaran huruf yang tercetak rapi di atas kertas berwarna abu-abu tersebut. Kepalanya sudah pening saat pikirannya kembali ke tugas yang diberikan gurunya Kamis lalu. “Ya Allah Mei, kepalaku mau pecah rasanya,” keluhnya.
“Istighfar Na, nyebut. Biar tenang dulu hati kamu.”
“Bagaimana mau tenang Mei, aku sudah capek. Dari tadi ini tugas tidak kelar-kelar.”
“Ya sudah ya sudah, mending seperti ini saja. Lebih baik kamu pulang dulu Na, menyegarkan badan dahulu. Mandi terus shalat ashar. Itu lihat, sekarang sudah akan jam empat.” Saran Mei sambil matanya melirik ke arah jam dinding. Tanpa meminta ijin, tangan Mei dengan gesit membereskan buku dan peralatan lainnya milik Nina. Mei memasukkannya ke dalam totebag Nina.
“Hm, iya kali ya? Ya sudah, kamu juga sudah memasukkan buku-bukuku. Enak kamu Mei, tugas sejarah tidak seribet seperti punya saya. Guru kamu tidak neko-neko kalau memberi tugas,” tutur Nina pelan.
“Saya memang dari dulu, sudah tidak suka dengan pelajaran ini. Otakku berasa tidak mau mengandai atau membayangkan masa lalu seperti itu, tidak mau membayangkan flashback jaman-jaman penjajahan seperti ini.”
“Ya sudah tidak usah dibayangkan bila seperti itu.” Balas Mei cepat.
Nina berdiri, mencangklongkan tasnya ke bahu. “Saya pamit ya.” Nina berjalan ke luar dari rumah Mei, sedangkan Mei pun ikut berjalan di belakang Nina.
“Na, aku yakin kamu nanti bakal menyesal karena sudah mencorat-coret bukumu.” Ucap Mei tiba-tiba. Nina menghentikan langkahnya, dahinya mengernyit samar kala mendengar ucapan Mei baru saja. Dengan wajah lesunya Nina menatap Mei, “Apaan sih, tidak ya!”
“Lihat saja nanti!” Seloroh Mei dengan senyum meremehkan Nina.
Mei lantas maju, mendekat ke Nina. Tangannya terjulur menuju ke mana kedua tangan Nina berada, menggenggamnya erat seolah menyalurkan rasa bahwa semuanya akan berjalan dengan baik. “Satu hal yang perlu kamu tahu dan rasakan Na, kalau sejarah itu mengasikkan…,” ucapan Mei terjeda sejenak.
Melihat Nina akan menyangkal perkataannya buru-buru ia kembali melanjutkan, “Dan kamu harus bisa menikmati betapa asiknya belajar sejarah Na!” Lanjutnya dengan optimis.
“Iya-iya, dinikmati ya Mei?” ujar Nina dengan nada bertanya ragu pada Mei.
“Besok Mei, besok, kalau kamu datang ke rumah aku, kata-kata kamu bisa balik lagi ke kamu lho. Aku dengan senang hati ngomong kalau gini satu hal yang perlu kamu tahu dan rasakan Mei, kalau matematika itu mengasikkan, dan kamu harus bisa menikmati betapa asiknya belajar metematika Mei.” Nina melihat raut wajah Mei yang berubah murung, tapi ia tak mempedulikannya. Kepalanya sudah terlanjur pening dan sekarang ia harus mendengarkan kata-kata Mei yang menjadikannya semakin muak dengan pelajaran yang sudah tak ia sukai dari dulu. Rasanya sekarang ia sudah benar-benar lelah. Ia ingin segera sampai di rumahnya, lalu mandi dengan air dingin yang membuat tubuhnya kembali segar.
Nina melepaskan genggaman tangan Mei, lalu kakinya melangkah menuju ke tempat sepeda motornya berada, “Mei, aku pamit ya.” Pamit Nina dengan suara yang sedikit ia tinggikan.
Mendengar suara Nina, Mei tersadar jika Nina sudah berada di atas motor dan sedang mengenakan helm. Tunggu, mengenakan helm? Tumben sekali Nina pakai helm padahal kan jarak rumahnya dengan Nina tidak jauh.
“Nina?” Panggil Mei keras ketika melihat Nina akan pergi. Nina menoleh, mengernyit bingung menatap Mei, “Iya Mei?”
“Kenapa kamu pakai helm Na? Padahal kan jarak rumah kita deket,” tanya Mei penasaran.
“Oh, di suruh ibu tadi. Ya sudah aku pakai.”
“Tumben.”
“Aku pikir tidak ada salahnya pakai helm, demi keamanan juga kan. Walaupun deket Mei, tapi kalau sirine ambulan sudah bunyi yang ada nanti ibu aku nangis kejer dan tidak tahu nanti kondisiku bagaimana.” Jelas Nina panjang.
“Ya sudah ya Mei, Assalamualaikum.” Nina perlahan meninggalkan pelataran rumah Mei dengan mengendarai motornya pelan.
Setelah sampai di rumah, segera Nina memarkirkan motornya di pelataran rumah. Kemudian ia masuk ke rumah untuk mandi.
Pada malam harinya, setelah melaksanakan shalat isya, Nina keluar dari kamar. Nina kemudian menghampiri ibu dan bapak yang sedang duduk menonton TV.
“Pak kok jam segini sudah pulang sih? Padahal ini baru jam 8.” Nina heran, pasalnya malam ini kata ibu, bapak ikut rapat pengajian untuk tujuh belasan bareng remaja masjid, tapi kenapa sekarang bapak udah duduk nyaman di samping ibu?
“Rapatnya kan diundur besok malam Nin.” Jawab bapak.
“Diundur?”
“Iya Nin,” sahut ibu.
“Oh, terus tadi siang bapak sama ibu ngapain ke pasar? Lho itu kenapa belanjaan ibu banyak sekali?” Tanya Nina beruntun kala matanya melihat ada lebih dari dua kantong besar di atas meja makan. Tanpa sadar kakinya malah berbelok ke meja makan yang terletak di samping kanan ruang tv.
“Perasaan tadi waktu aku keluar tidak ada belanjaan ibu seperti ini,” gumam Nina pelan saat ia sudah berada di pinggir meja makan. Tangannya sibuk membuka satu persatu kantong besar itu, mengecek apa saja isi dalam kantong tersebut. Ia melihat ada bahan-bahan untuk membuat pukis, dadar gulung, putri ayu, dan bahan untuk membuat kue basah lainnya. “Ibu ada orderan snack apa bu?”
“Bukan Nin, itu nanti buat snack rapat.” Jelas ibu. “Nin, sini nonton TV dulu! Bagus nih acaranya, mau tujuh belasan jadinya ini ditayangin sejarah jaman penjajahan ya pak?”
“Iya, ini lagi bahas kronologi kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia lho Nin, besok malam di lanjut kongsi dagang VOC tadi bapak lihat iklannya. Kamu tidak mau nonton Nin?”
Mendengar ibu dan bapaknya berbicara mengenai sejarah, aktifitas Nina terhenti sejenak.
Apa tadi? Lagi-lagi sejarah? Bahkan bapak dan ibunya sekarang bahas sejarah. Nina sedikit terkejut saat mendengar bapak dan ibunya mengajak ia menonton acara itu. Ya Allah, kenapa hari ini rasanya sejarah selalu mengikuti dia?
Menoleh ke arah ibu dan bapak, Nina menolak halus, “Hehe, lain kali aja ya pak.”
“Masih tidak suka sama sejarah, Nin?”
“Ya seperti itu lah bu, kayanya sudah lebih dari tidak suka aku sama sejarah.” Jawab Nina lesu. “Rasanya Nina mau mual Bu kalau udah baca materinya.” Lanjut Nina mengutarakan keluhannya.
“Tidak boleh seperti itu lho Nin, sekarang mungkin kamu tidak suka sama sejarah, eh tidak tahu nanti kamu malah jadi guru sejarah,” ujar Bapak.
“Tidak mungkin Pak. Nina itu tidak suka sejarah sudah level tinggi, sudah sampe benci Pak. Saking Nina muaknya sampai Nina beneran mau mual. Sudah pusing kepala Nina kalau membahas sejarah,” ucap Nina cepat, menyangkal perkataan bapak.
“Nina, tidak boleh git—,”
“Tidak boleh apa Bu? Nina memang udah tidak suka ya tidak suka, mau dipaksain bagaimana pun kalau hati sama pikiran Nina itu sudah nolak buat suka ya susah bu. Apalagi kalau berbicara suruh dinikmati saja.” Nafas Nina memburu saat mengucapkan itu. Tiba-tiba hatinya bergemuruh, serasa seperti ingin meledak memuntahkan lava panas berupa unek-unek kebenciannya terhadap sejarah yang berwujud lontaran kata-kata pedas yang susah untuk ia kontrol.
Dari pada dia membuat ibu atau bapaknya nanti tersinggung dengan kata-katanya lebih baik ia segera pergi ke kamar, menenangkan diri jauh lebih baik dari pada lepas kendali. Ketika ia akan meninggalkan meja, tak sengaja tangan kirinya menyenggol salah satu kantong kresek. Kantong itu jatuh ke lantai, karena kantong itu belum diikat kembali isinya jadi keluar berceceran di sekitar kantong. Segera Nina berjongkok untuk memasukkan gelas kecil tempat agar-agar yang berceceran. Dengan terburu ia memasukkan gelas kecil itu ke dalam kantong.
Saat akan mengikatkan ujung tali kantong kresek, matanya tak sengaja melihat benda yang tak asing baginya. Benda yang memiliki dua warna pada bagiannya seperti warna darah dan tulang, terbungkus rapi oleh plastik dan terselip di antara tumpukan gelas kecil agar-agar.
Deg
Benda itu.
Ya Allah, i-ini, ini benderaku?
Nina memutuskan membawa bendera beserta kantong kreseknya itu ke kamar. Lalu ia mengambil sapu lidi yang terletak di sudut kamar, mengambil satu batang lidi kemudian ia potong menggunakan gunting.
Di dalam kantong, ada sekitar lima pack bendera plastik. Nina lalu mengambil asal salah satunya, membuka ujung bungkusan, kemudian ia tarik satu lembar bendera plastik. Ia masukkan ujung lidi yang sudah ia potong tadi, memasukkan perlahan ke saluran lubang yang sudah tersedia di bagian pinggir bendera.
Nina berjalan mendekat ke arah meja belajar, ia mendudukkan dirinya di bangku yang sudah ada di situ, lalu tangannya menyelipkan lidi yang ujungnya sudah ia pasang bendera di tabung tempat penanya. Nina memandang sejenak bendera itu, bendera plastik miliknya. Ingatannya melayang ke beberapa tahun silam, di mana ia saat itu masih berumur delapan tahun.
Waktu itu ia sedang bermain masak-masakan bersama teman-temannya. Saat sedang asik bermain tiba-tiba ia melihat ada anak laki-laki seusianya terlihat sedang bersembunyi di balik dinding pagar. Anak laki-laki itu terlihat seperti sedang mengintip ia dan teman-temannya bermain.
“Mei, Nisa, bentar ya aku ke sana dulu.”
“Mau ke mana Na?” Tanya Mei penasaran. “Itu, ke sana. Bentar ya!” Nina bangkit dari duduknya. Gadis kecil itu mempercepat langkah kakinya ketika melihat anak laki-laki itu akan kabur karena rupanya si anak laki-laki itu sudah melihat Nina yang akan menghampirinya.
“Eh tunggu-tunggu!” Teriak Nina menghentikan anak itu pergi.
Melihat anak laki-laki itu berhenti, Nina segera mendekat, “Kamu siapa?” tanya Nina pelan, matanya menatap lurus mata jernih anak laki-laki itu.
Tak mendapat jawaban, Nina tak lantas menyerah, ia malah menarik telapak tangan anak laki-laki itu lalu menggenggamnya bersalaman. “Aku Nina, nama kamu?”
“Rayhan.” Jawab pendek anak laki-laki itu. Mendengar jawaban singkat anak laki-laki itu senyum Nina merekah, senyum manis yang membuat kedua matanya tenggelam bagaikan bulan sabit.
“Wah, itu bendera kamu?” Tanya Nina kemudian saat matanya melihat bendera plastik yang berada di bagian stang sepeda.
“Iya,” Bendera itu berkibar-kibar ke kanan dan kiri terkena angin. Melihat itu Nina takjub. Ia lantas mencabut gagang bendera itu dari stang sepeda tanpa meminta ijin pada sang pemilik.
“Wah, bagus.”
“Buat kamu,” ujar Rayhan datar.
“Hah?”
“Iya buat kamu benderanya.”
“Beneran?” tanya Nina memastikan.
“Iya,” mendengar itu mata Nina seketika berbinar.
“Tapi nanti kamu tidak punya,” ucap Nina sedih.
“Di rumah aku masih punya banyak,” tutur Rayhan pelan.
“Oh seperti itu ya? Ya sudah kamu mau main sama aku? Sama teman-teman aku juga tuh di teras? Yuk!” Ajak Nina dengan raut wajah kembali ceria.
“Aku harus pulang, maaf,” tolak Rayhan.
“Lho, kok seperti itu? Ya sudah deh. Emang rumah kamu di mana?”
“Rumah aku di Jakarta, di sini menginep di rumah Mbah Kung Ahmad.” Terang Rayhan memberi tahu Nina.
“Oh kamu cucunya Mbah Kung Ahmad,” ucap Nina dengan polos.
“Iya.”
“Ya sudah, makasih Rayhan benderanya. Ini tadi masih bendera Rayhan tapi karena sudah Rayhan kasih ke Nina sekarang bendera ini milik Nina.”
“Iya, benderanya di jaga ya! Kata ayah itu salah satu hadiah kemerdekaan buat kita dari para pahlawan.”
Ya Allah, kenangan itu. Nina masih ingat betul kenangan itu. Kenangan perkenalan pertamanya dengan anak laki-laki bernama Rayhan. Anak laki-laki yang sudah memberinya bendera plastik beserta gagangnya. Dan… ingatannya juga masih menyimpan rapi memori di mana bendera miliknya itu lepas dari tangannya, ia menangis tersedu ketika bendera miliknya itu hanyut terseret oleh derasnya air sungai. Seketika rasa bersalah menyergap hati Nina kembali. Astagfirullah, maafkan aku Ray, aku udah lalai jaga pemberian kamu.
“Ya Allah, apa yang sudah Nina lakukan hari ini. Nina salah, iya. Ya Allah maaf kan Nina.”
“Nina seharusnya kamu tidak boleh memunculkan rasa benci dalam hati kamu. Astagfirullahalazim, astagfirullahalazim, astagfirullahalazim….” Mulut Nina terus melantunkan kalimat istighfar berulang kali sampai benar-benar ia merasa tenang.
Pandangan Nina beralih menuju di mana buku LKS sejarahnya berada, ia lalu membuka halaman di mana tadi sore ia coret-coret dengan pensil. Segera tangan Nina mengambil penghapus lalu menghapus coret-coretan itu.
Untung saja ia mencoret-coretnya pakai pensil jadi masih tetap bisa dihapus. Rasa sesal langsung menghampiri Nina setelah melihat masih ada garis yang tercetak samar di sana. Nina memandang nanar tulisan-tulisan yang berjejer rapi, membacanya sekilas, mencoba untuk merenungi isi dari tulisan itu.
Matanya melirik ke arah buku gambar berukuran A3 yang tergeletak di samping LKS, lantas ia membukanya. Buku itu baru ia beli kemarin Kamis, pada sore harinya setelah ia mendapatkan tugas dari guru sejarah untuk menggambar peta penjelajahan samudera. Dan ia baru menggambar setengahnya, belum lagi nanti harus diwarnai.
Satu hal yang perlu kalian ketahui lagi bahwa Nina juga kurang suka dengan apa yang namanya menggambar. Hal itu disebabkan karena ia tak mempunyai bakat atau kemampuan dalam seni itu. Tapi mau bagaimana lagi jika menggambar sudah menjadi tugas, Nina harus segera menyelesaikannya, suka tidak suka.
Nina berpikir untuk mencari jalan keluar. Ah, ya.. mungkin besok setelah ia menyelesaikan gambar peta ia akan membuat coretan peta konsep kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia terlebih dahulu sebelum ia menjabarkan kronologinya. Dua tugas yang harus segera ia tuntaskan sebelum tanggal 10 tiba, karena pada tanggal itu ia sudah disibukkan mengurus kegiatan lomba-lomba Agustusan yang akan dilaksanakan di rumah bapaknya yang selaku ketua RT. Nina juga disuruh untuk ikut berpartisipasi menjadi panitia dalam acara pengajian besok walau iya bukan anggota remaja masjid. Sudah bisa dibayangkan bukan bagaimana sibuknya ia besok.
“Tidak kerasa ya, besok udah tanggal satu aja,” gumam Nina, tangannya memegang ujung bawah bendera itu, bibirnya tersenyum sekilas. Nina tidak menyangka jika hari ini ia dipertemukan lagi dengan benderanya, walau bukan bendera dari Rayhan tapi itu tetap sama, itu benderanya, bendera lambang negaranya.
Dan benderanya kini telah menyadarkan pandangannya terhadap sejarah bahwa sejarah itu tidak selamanya buruk, mungkin Nina tidak suka dan muak kala mendengar cerita kolonialisme, tapi itu bukan berarti ia harus membenci cerita itu.
Itu cerita jaman dahulu, sudah beratus-ratus tahun yang lalu. Sekarang ia hanya perlu mengetahuinya saja, hanya perlu mengenangnya dan menjadikan sejarah itu sebagai pembelajaran. Tidak harus sampai membenci atau melupakan.
Sejatinya kita ada karena sejarah ada.
Nina menutup bukunya, kemudian ia berjalan ke ranjang lantas merebahkan badannya di sana. Matanya menatap lurus langit-langit rumah, “Mei, ibu, bapak, Nina minta maaf. Nina salah bu,” gumam Nina.
“Mulai saat ini Nina akan berusaha untuk menghilangkan benci Nina sama sejarah, Nina akan belajar menerima sejarah, walau mungkin Nina masih sulit untuk suka sama sejarah Nina akan terus berusaha, sama seperti para pahlawan dulu yang tetap terus berjuang setelah Indonesia merdeka,” tekadnya dalam hati. Setelahnya mata Nina sayup-sayup terpejam. Dengan membaca tiga qul dan ayat kursi, Nina tertidur lelap pada malam hening itu.
Penulis: Anisa Destriani (XII MIPA 1)